Oleh : Muhammad Nana Trisolvena
ghostwhite-elephant-104947.hostingersite.com — Di tengah cahaya harapan yang dipancarkan oleh pendidikan, terdapat bayang-bayang kelam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Di balik pencapaian yang ditorehkan, ada realitas yang tak bisa diabaikan: pelajar dan mahasiswa sering kali dipandang sebagai komoditi industri. Fenomena ini mencerminkan bagaimana pendidikan, yang seharusnya menjadi jembatan menuju masa depan, telah bertransformasi menjadi sumber daya yang dapat diperdagangkan.
Pendidikan tinggi seharusnya menjadi ruang untuk mengembangkan potensi individu dan menciptakan pemimpin masa depan. Namun, kenyataannya, sering kita temui perguruan tinggi yang lebih fokus pada keuntungan finansial daripada misi pendidikan yang sejati. Tidak sedikit institusi yang terlibat dalam praktik komersialisasi pendidikan, menawarkan program-program menarik tanpa memperhatikan kualitas pengajaran dan etika akademik. Dalam konteks ini, mahsiswa dan pelajar dipandang begitu menggiurkan sebagai sumber pendapatan, bukan sebagai individu dengan potensi intelektual yang perlu diberdayakan.
Kenaikan biaya pendidikan juga semakin memperburuk keadaan. Banyak mahasiswa terpaksa berutang atau bekerja sambilan untuk membiayai studi mereka. Dalam situasi ini, mereka sering kali terpaksa memilih jurusan yang tidak sesuai dengan minat dan bakat mereka, hanya untuk memenuhi tuntutan ekonomi. Hal ini menciptakan situasi di mana pendidikan bukan lagi jalan menuju pencerahan, tetapi menjadi beban yang berat, menghalangi pengembangan diri yang sejati.
Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dalam rekrutmen mahasiswa juga menjadi tantangan serius. Ketidakadilan ini menciptakan kesenjangan di dalam sistem pendidikan, virus “or-dal” telah menjalar cukup serius sehingga mereka yang tidak memiliki koneksi sering kali terpinggirkan. Akibatnya, pelajar dan mahasiswa yang berusaha keras untuk mencapai tujuan pendidikan mereka merasa terasing dan terputus dari peluang yang seharusnya mereka miliki.

Di sisi lain, kesenjangan digital semakin memperlebar jurang pemisah antara mereka yang memiliki akses pendidikan berkualitas dan yang tidak. Di era di mana teknologi informasi mendominasi, banyak anak-anak di daerah terpencil yang masih berjuang tanpa fasilitas yang memadai. Di satu sisi, kita melihat pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan baru yang tampaknya lebih banyak menghabiskan kertas daripada memberikan solusi. Seolah-olah, dengan menciptakan regulasi yang berlapis-lapis, mereka percaya dapat menyelesaikan masalah pendidikan yang telah terperangkap dalam labirin birokrasi. Ironisnya, dalam banyak kasus, aturan yang dibuat justru menambah beban bagi institusi pendidikan dan mahasiswa, seolah-olah mereka sedang berlomba-lomba untuk mendapatkan “juara satu” dalam menciptakan kebingungan. Di sinilah, peran pemerintah dan komunitas menjadi sangat penting untuk menciptakan solusi yang inklusif dan relevan, agar setiap anak bangsa dapat merasakan manfaat pendidikan.
Pendidikan inklusif harus menjadi fokus utama kita. Setiap individu, tanpa memandang latar belakang, harus memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang. Ini berarti menciptakan lingkungan yang mendukung bagi semua orang, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus atau berasal dari kelompok yang terpinggirkan. Pendidikan inklusif bukan hanya tentang akses fisik ke sekolah, tetapi juga tentang menyediakan dukungan yang tepat, metode pengajaran yang sesuai, dan atmosfer yang menghargai keberagaman.
Mari kita ingat bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Dalam langkah kita mendobrak batas-batas yang menghalangi untuk menjawab tantangan dan harapan , kita harus memastikan bahwa setiap anak bangsa mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang. Hanya dengan cara ini, kita bisa mewujudkan cita-cita luhur menciptakan generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan, di mana setiap individu dipandang sebagai aset berharga bagi bangsa ini. Dengan pendidikan inklusif, kita tidak hanya membangun generasi yang cerdas, tetapi juga generasi yang saling menghargai dan memahami satu sama lain, pada akhirnya akan terlahir calon-calon pemimpin bangsa ke depan yang mampu mewujudkan ”baldatun toyyibatun warobbun ghofur”. (CM)
(Penulis : Muhammad Nana Trisolvena, Mahasiswa Program Doktoral Rekayasa Industri Universitas Islam Indonesia)